Kriteria Mukim Yang Membuat Shalat Jama` Qashar Sudah Tidak Boleh Dilakukan



 Pertanyaan:

Assalamu alaikum wr wb....
Pak Ustasz yang dirahmati oleh Allah swt.
Saya ingin bertanya tentang suatu hal yang biasa Pak Ustadz sebutkan dalam konsultasi ini, yaitu tentang mukim dalam kaitannya dengan shalat jumat (dan kaitannya dengan hal yang lain lagi).
saya ingin mengetahui batasnya antatra yang dikatakan muqim dengan yang dikatakan masih dalam status musafir. apakah yang menentukan seseorang sudah dpt dikatakan muqim di suatu daerah? apakah jika ia sudah menetap di sana minimal 40 hari? atau sudah mempunyai keluarga di sana?
demikian pertanyaan saya dan untuk perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu alaikum Wr Wb.

Abissena

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba?d.


Umumnya para ulama menetapkan bahwa bermukim tidaknya seseorang tergantung niat dan kenyataannya. Dikatakan tergantung niat, karena bisa jadi seseorang berada di suatu tempat dalam perjalanannya, namun dia tidak pernah berniat untuk menetap di tempat itu untuk jangka waktu tertentu.
Sehingga kapan pun dia punya kemungkinan untuk segera berpindah atau bergerak lagi.

Misalnya, anda dalam perjalanan ke manca negara. Lalu karena ada masalah dengan jadwal penerbangan, anda terpaksa harus menetap di kota itu selama beberapa hari. Misalnya karena ada halangan cuaca dan sebagainya.Dan bila cuara cerah, anda akan segera melanjutkan perjalanan. Maka meski anda sempat menetap selama dua tiga minggu, tidak dikatakan bermukim, teteap dikatakan masih dalam keadaan safar.

Selama sekian lama itu, meksi kenyataannya anda menetap sampai dua minggu, anda masih dibenarkan untuk melakukan shalat jama` dan qashar, sebab tidak dianggap bermukim.

Sebaliknya, bila anda datang ke suatu kota dengan program / skedul yang sudah pasti, misalnya mengikuti training selama 5 hari, dikatakan bahwa anda sudah berniat sejak awal untuk menetap di kota itu, meski hanya 5 hari saja. Menurut sebagian ulama terutama As-Syafi`iyah, masa menetap seseorang paling lama di suatu tempat adalah 3 hari, di luar hari kedatangan dan hari kepulangan. Sehingga begitu memasuki hari keempat, anda sudah tidak lagi dikatakan dalam kondisi safar dan sudah wajib shalat secara sempurna.

Yang kami sampaikan ini memang pendapat dari kalangan As-syafi`iyah, sedangkan pendapat lainnya tidak menyatakan batas waktu, sehingga berapa pun lama seseorang berada di kota lain, dia dianggap tetap masih dalam keadaan safar.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.